Tuesday, 1 April 2014

Jokowi bukan sosok seorang Presiden Skripsi

ADA pertanyaan mengapa kegalauan meluas dan menisbikan keberhasilan yang dicapai? Bukankah setiap keberhasilan ada kelemahannya? Misalnya, mengapa pertumbuhan tidak disertai pembagian hasil pertumbuhan?

BOLEH MIMPI DISIANG HARI



Dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis, kebebasan mengeluarkan pendapat juga telah kita nikmati. Bahwa ada kesan berlebihan, inilah yang harus kita rem. Namun, dari sisi kebijakan memang perlu pendekatan atau cara berpikir dalam jangkauan menengah dan jangka panjang. Ada kesan ketimpangan itu disebabkan maraknya pemikiran jangka pendek, sekadar penyelesaian sesaat.

Inilah akar masalah yang mungkin menjadi sumber kegalauan kita semua. Kita semakin terbiasa dengan pemikiran sesaat, jangka pendek atau pragmatis. Pragmatisme telah menjauhkan idealisme sehingga tanpa disadari melahirkan budaya ”tujuan menghalalkan cara”.

Benar, kita memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi. Masalahnya, bagaimana agar pertumbuhan itu terbagi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan yang makin lebar? Kalau lebih cenderung ke konsep pasar bebas, adalah wajar kalau kesenjangan semakin melebar. Apalagi, daya saing kita masih lemah sehingga ekonomi kita lebih dikuasai asing.

Demokrasi kita sesungguhnya justru mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Contohnya, untuk memenangkan pemilu/pilkada terjadi ”politik uang”. Kita belum ”siap kalah dan siap menang”. Tujuan mengikuti pemilu/pilkada hanya untuk menang, bukan memenuhi proses demokrasi. Yang ada adalah semangat ”tujuan menghalalkan cara”, yang ujung-ujungnya kepentingan materi. Dampaknya, masyarakat sulit diajak berpikir ideal, apalagi ideologis. Pancasila pun dilupakan.

Ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merefleksi jalannya reformasi mungkin juga merefleksikan pemikiran yang serba pragmatis itu. Pragmatisme ternyata membuat kita menyimpang dari tujuan negara ini didirikan. Mampukah kita berefleksi dan meluruskan jalannya reformasi dalam waktu singkat?

Risiko reformasi

Peralihan Orde Baru ke Reformasi berjalan cepat. Presiden Soeharto yang terpilih secara aklamasi dalam Sidang Umum MPR, Maret 1998, dua bulan kemudian mengundurkan diri. Pemimpin baru muncul, pemikiran baru pun muncul. Bagaimana mewujudkan demokrasi, menegakkan HAM, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Terjadilah perubahan yang sangat mendasar: UUD 1945 diamandemen tahun 2002.
Perubahan yang mencolok terkait kandungan hak-hak asasi manusia (HAM), sistem ketatanegaraan, pilihan sistem ekonomi, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Hal ini tecermin dalam perubahan batang tubuh UUD 1945.

Perubahan drastis itu membuat substansi UUD 1945 yang asli tergerus. Syukurlah, Pembukaan UUD 1945 tidak diubah meskipun kemudian antara pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 Perubahan 2002 dinilai tidak sinkron.

Presiden dipilih langsung, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang bertugas memilih presiden/wakil presiden dan menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), otonomi daerah berbasis tingkat II dengan pilkada langsung, pers bebas tanpa SIUPP, dan ekonominya sesuai konsep ekonomi pasar bebas.

Kini, lima belas tahun setelah Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak kita semua merefleksikan Reformasi, meneruskan yang baik dan memperbaiki yang belum baik. Substansinya tentang sistem ketatanegaraan kita, sistem presidensial, mekanisme ”check and balances” dan lain sebagainya.

Sebagai presiden dua periode, tentunya SBY merasakan kelemahan sistem yang berjalan sekarang. Bagaimana sistem presidensialnya tersandera sistem parlementer sehingga ada pemikiran, bisa saja sistem parlementer lebih cocok. Sebab, sistem parlementer pernah kita terapkan di era 1950-an.

Di sektor ekonomi, peran negara juga semakin kurang terasa sehingga terjadi kesenjangan. Otonominya sempat dimoratorium agar negara ini tidak semakin ”fragmented” sehingga sulit dikelola. Kritik terhadap pelanggaran HAM masih terdengar sehingga kita dianggap lemah dalam melindungi kelompok minoritas. Belum lagi masalah-masalah lain.

Tidak mudah

Namun, ajakan refleksi itu pasti tak mudah dilaksanakan. Inisiatif pemerintah mengubah pemilihan gubernur agar dilakukan oleh DPRD saja tertatih-tatih. Ada yang menilai usulan itu sebagai kemunduran demokrasi. Demokrasi, dalam hal ini, hanya dipersepsi sebagai pemilihan langsung. Padahal, demokrasi kita mestinya berdasar perwakilan, berjenjang, dan tidak langsung. Demokrasi seperti itu, sebagaimana di Amerika Serikat, electoral-vote lebih menentukan dibandingkan dengan popular-vote dalam pemilihan presiden.

Selama lima belas tahun Reformasi, banyak UU dan kebijakan baru mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Namun, semua sudah dianggap sebagai suatu kewajaran. Terkait otonomi dan demokrasi, misalnya, bagaimana kita bisa mengurangi ”hak” yang telah diberikan kepada rakyat untuk memilih gubernur/bupati/wali kota, bahkan presiden/wakil presiden, kalau hal itu sudah diyakini sebagai wujud demokrasi kita?

Demikian juga di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya meskipun terasa ada kegalauan terhadap sistem ketatanegaraan kita. Wajar, kalau kemudian timbul wacana untuk kembali ke UUD 1945 (asli), sementara Presiden mengajak refleksi. Sebagian masyarakat menggunakan istilah ”kaji ulang” yang mengesankan sikap moderat dalam menyikapi kondisi bangsa ini. Hal ini memerlukan idealisme, setidaknya penggambaran cita-cita masa depan bangsa, tak sekadar mencari solusi sesaat yang ternyata bisa menyimpang dalam mewujudkan masa depan kita.

Jelas ini sangat tidak mudah. Ada yang berpikir, mungkin hanya bisa berjalan kalau ada uluran tangan Tuhan atau sekadar ”mimpi di siang hari”.



Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

No comments:

Post a Comment

Test Footer 2